Mewujudkan Impian Baitullah Keluarga Anda

Transaksi Badal Haji

Entri Data Pesanan

Pax

WhatsApp Image 2020-08-07 at 14.31.44.jpeg

 

 

Yang dimaksud dengan badal haji adalah  menunaikan ibadah haji atas nama orang lain yang terkena udzur atau sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya dan sudah meninggal. Akibatnya, ia tidak bisa melaksanakan ibadah haji sendiri.

Orang yang mati dan belum berhaji tidak lepas dari dua keadaan:

 

Pertama:

Saat  hidup mampu berhaji, maka orang yang seperti ini wajib bagi ahli warisnya untuk menghajikannya dengan harta si mayit. Jika si mayit malah memberi wasiat agar ia dapat dihajikan, kondisi ini lebih diperintahkan lagi. Dalil dari kondisi pertama ini adalah firman Allah Ta’ala,

Mengerjakan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, [yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah]” (QS. Ali Imran: 97)

Dalam hadist shahih juga diriwayatkan ada seorang laki-laki yang menceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sungguh ada kewajiban yang mesti hamba tunaikan pada Allah. Aku mendapati ayahku sudah berada dalam usia senja, tidak dapat melakukan haji dan tidak dapat pula melakukan perjalanan. Apakah mesti aku menghajikannya?” “Hajikanlah dan umrohkanlah dia”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad dan An Nasai).

Kondisi orang tua dalam hadits ini telah berumur senja dan sulit melakukan safar dan amalan haji lainnya, maka tentu saja orang yang kuat dan mampu namun sudah keburu meninggal dunia lebih pantas untuk dihajikan.

 Di hadits lainnya yang shahih, ada seorang wanita berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku bernadzar untuk berhaji. Namun beliau tidak berhaji sampai beliau meninggal dunia. Apakah aku mesti menghajikannya?” “Berhajilah untuk ibumu”, jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Ahmad dan Muslim)

 

 

Kedua:

Jika si mayit dalam keadaan miskin atau renta sehingga tidak mampu. Untuk kasus semacam ini tetap disyari’atkan bagi untuk menghajikan orang tuanya. Alasannya sebagaimana diatas.

Begitu pula dari hadits Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang berkata, “Labbaik ‘an Syubrumah (Aku memenuhi panggilanmu atas nama Syubrumah), maka beliau bersabda, “Siapa itu Syubrumah?” Lelaki itu menjawab, “Dia saudaraku –atau kerabatku-”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bertanya, “Apakah engkau sudah menunaikan haji untuk dirimu sendiri?” Ia menjawab, ”Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan, “Berhajilah untuk dirimu sendiri, lalu hajikanlah untuk Syubrumah.” (HR. Abu Daud). Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara mauquf (hanya sampai pada sahabat Ibnu ‘Abbas).

Jika dilihat dari dua riwayat di atas, menunjukkan dibolehkannya menghajikan orang lain baik dalam haji wajib maupun haji sunnah.

Adapun firman Allah Ta’ala, “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An Najm: 39).

Demikian dalil yang bisa diambil dari usaha untuk menunaikan Haji dan Umroh bagi keluarga yang tidak sanggup menunaikannya.

Syarat & Ketentuan
Mohon maaf halaman 'Syarat Ketentuan Transaksi Badal Haji' sedang dalam pengembangan
Chat Dengan Kami
built with : https://erahajj.co.id